Ujung timur Pulau Jawa adalah salah satu tempat terbaik bagi kegiatan wisata alam. Betapa tidak, kawasan ini menawarkan atraksi wisata yang beragaman, dan bahkan banyak diantaranya adalah khas dan unik. Namun demikian, pertanyaan mendasar yg saat ini timbul adalah apakah tempat-tempat dan atraksi tersebut mempunyai masa depan? Lebih jauh jika mau dipersoalkan, apakah generasi mendatang masih akan menikmati keindahan panorama alam dan warisan budaya Banyuwangi yang telah mendunia?
Padang rumput Sadengan adalah padang rumput semi alami yang terdapat di kawasan Taman Nasional Alas purwo, Semenanjung Blambangan di Kabupaten Banyuwangi. Disebut sebagai padang rumput semi alami karena pada faktanya, keberadaan padang rumput ini bukanlah secara alamiah terjadi. Padang rumput ini sebenarnya muncul karena kerusakan-kerusakan beberapa petak hutan di masa lampau yang kemudian menimbulkan spot-spot padang rumput pada hamparan hutan di Semenanjung Blambangan. Hilangnya kanopi dan tutupan tajuk dalam waktu yang lama membuka peluang bagi bermacam rumput untuk tumbuh, dan kemudian dimanfaatkan oleh berbagai satwa sebagai salah satu habitat pentingnya. Karena padang rumput ini dahulunya menyediaan pakan berlimpah bagi herbivora di Semenanjung Blambangan, pengelola memandang bahwa Sadengan adalah tempat ideal bagi konservasi satwa liar seperti Banteng, Rusa, Babi hutan dan aneka ragam satwa lainnya. Untuk merealisasikin gagasan konservasi tersebut, sebuah aktifitas campur tangan manusia dimulai dalam tahun 1970’an dengan meningkatkan kapasitas padang. Kegitan peningkatan kapasitas habitat ini antara lain adalah dengan membersihkan kawasan dari berbagai tetumbuhan yang menghalangi rumput tumbuh, menanan rumput, membuat irigasi teknis untuk mengairi padang, dan melakukan pembinaan terhadap padang. Pertamakali sejak padang ini dikelola, satwa liar tercatat sangat melimpah di padang rumput. Mungkin jumlahnya sama dengan apa yang digambarkan oleh peneliti Eropah jauh sebelumnya. Catatan oleh van Steenis, (1937), mengatakan bahwa jumlah banteng bias mencapai angka sekitar 100 ekor dalam satu pengamatan.
Di Pulau Jawa, pemandangan padang rumput dengan berbagai satwa di dalamnya adalah sangat langka, sehingga mengundang hasrat pada pelancong untuk mengunjungi padang rumput sadengan. Menyadari potensi wisata yang ada didalamnya, sebuah menara pandang dibangun untuk memfasilitasi kegiatan pengamatan satwa. Berbagai promosi wisata kemudian dengan gencar mempromosikan Sadengan dan reputasinya sebagai The Last Habitat of wildlife in Java Island. Peran dari Sadengan dalam membangun image wisata kabupaten Banyuwangi juga sangat signifikan.
Namun demikian, apakah Sadengan mempunyai masa depan? Penelitian yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa perlu kerja keras untuk menyelamatkan Sadengan. Jika mau ektrim, dalam jangka waktu 5-10 tahun lagi, Sadengan tinggal cerita. Mengapa demikian? Jawaban yang pasti karena kerusakan habitat yang sudah sangat kronis, terus-menerus terjadi dan ada indikasi tidak akan tertangani. Apakah sudah tamat? Belum, dengan catatan bahwa manajemen secara terintegratif harus segera dilakukan. Jika saat ini pengendalian dan kontrol terhadap kualitas padang rumput menjadi perhatian utama Taman Nasioanl Alas Purwo sebagai pemangku kawasan, maka seyogyanya pemerintah daerah dan masyarakat mulai bergerek untuk menyelamatkan Sadengan. Ini penting, karena Sadengan adalah salah satu aset berbarga. Jumlah banteng di dunia ditaksir berkisar 1000 ekor, dan jumlah ini terus menyusut karena hancurnya habitat banteng. Bisa jadi, suatu saat, manyarakat dunia harus pergi ke Banyuwangi untuk melihat banteng, seperti manyarakat dunia harus pergi ke TN. Komodo untuk melihat komodo, hewan prasejarah yang hanya hidup di NTT. Namun, tentunya dengan catatan habitat banteng harus diselamatkan sebelum bermimpi hal tersebut.
Padang rumput Sadengan saat ini dalam tekanan dan stress berat karena serbuan dua spesies tumbuhan utama yang menjadi kanker dan tumor ganaspadang rumput. Tumbuhan pertama adalah Cassia tora, termasuk dalam tumbuhan polong-polongan (Fabaceae) ini tumbuh hampir menutupi permuknaan padang rumput. Tumbuhan kedua, yang tak kalah ganasnya adalah Eupathorium inulifolium, kelompok tumbuhan compositae, yang tak kalah pentingnya dalam merubah wajah Sadengan. Belum lagi, ancaman serius dari berbagai tumbuhan invasive seperti Lantana camara. Data-data yang dimiliki oleh penulis menunjukkan bahwa tiga macam tumbuhan ini mempunyai indek nilai penting tertinggi diantara tetumbuhan lain di padang rumput. Sebagai contoh, rumput-rumput Cyperus yang berperan sebagai sumber pakan utama satwa herbivore malah mempunyai indek yang kecil, menunjukkan kecilnya dominansi, densitas dan frekuensi tumbuhan tersebut. Dampaknya tentu fatal. Salah satunya adalah berkurannya jumlah banteng yang mengunjungi Sadengan. Kegiatan monotoring yg dilakukan oleh penulis mengindikasikan jumlah satwa banteng turun secara terus menerus.
Pihak taman nasional bukannya tidak menyadari dan mengambil tindakan. Serangkaian tindakan telah dilakukan sejak tahun sepuluh tahun yang lalu dalam mengendalikan species pengganggu tersebut, antara lain dengan pembabatan, pembakaran dan berbagai cara lain. Namun, hasilnya adalah nihil. Artinya tindakan tersebut tidak banyak berarti. Sampai dengan akhir musim hujan 2008 kemarin, data yang dimiliki penulis menyatakan bahwa semaian-semaian tumbuhan invasive tersebut masih sangat besar. Sebagai gambaran, jumlah semaian E. Inulifolium mencapai 90.22 individu dalam plot berukuran 1x1 meter persegi untuk di tengah padang, dan 50.45 individu di pinggir hutan. Hanya dibawah rimbunan pohon saja jumlahnya berkuran, yaitu 10.23 individu. Itu terjadi karena memang naungan pohon cenderung menghambat tumbuhan di bawahnya untuk tumbuh dan berkembang. Untuk tumbuhan Cassia tora, secara berturut-turut tercatat lebih besar dan padat, mencapai 580.77 di area terbuka, 550,41 di sekitar hutan dan 75,02 di bawah kanopi pohon. Selanjutnya ukuran-ukuran fisiologi yang lain juga berbeda secara signifikan. Ini adalah jumlah yang besar. Dan yang pasti menjadi signal yang kuat bahwa teknik pengendalian selama 10 tahun ini gagal, dan tubuhan invasive tetap menjadi ancaman kronis, dan selajutnya jangan berharap melihat banteng melimpah di padang rumput. Jadi, jika tidak ada peran serta masyarakat, hilangkan mimpi anda menikmati suasana seperti di Afrika.
Sebagaimana telah saya sampaikan diatas, sebuah manajemen secara terpadu dan terencana mendesak untuk dilakukan. Pengendalian yang terjadi saat ini, sebagaimana insitusi pemerintahan, sangat tergantung dari dana proyek Departemen Kehutanan di pusat yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Dengan demikian, sekali lagi, mengorganisir dan menggerakkan masyarakat adalah salah satu pilihan yang mungkin. Selaian itu, tentunya pemkab Banyuwangi juga sangat berperan penting. Sadengan telah memberikan sumbangan dalam penerimaan PAD dalam sektor wisata, dan telah melambungkan nama Banyuwangi di tingkat internasional karena simbol-simbol banteng dan padang rumputnya. Tidak fair tentunya jika Sadengan hanya diperas hasilnya, tapi tidak diperhatikan hak-haknya, yaitu pemulihan habitatnya. Ada banyak LSM, pecinta alam, siswa sekolah, pemerhati lingkungan dan kelompok masyarakat lainnya yang dapat diberdayakan. Sasarannya jelas, yaitu mencegah meluasnya penyakit kronik Sadnegan dan mengembalikan kejayaan Sadengan. Kegiatan mencabut tumbuhan sampai seakar-akarnya sebelum tumbuhan menghasilkna biji untuk menyambung populasinya di masa depan adalah kegitan kecil yaang bisa dikoordinasikan. Namun demikian, perlu diingat bahwa mobilisasi masyarakat dalam jumlah yang besar juga sangat berpotensi untuk membuat satwa liar stress. Untuk itu, diperlukan sebuah pengaturan kegiatan yang secara teknis mampu mengendalikan serangan tumbuhan pengganggu, dan secara ekologis tidak mengganggu satwa liar. Sebuah lembaga pemerhati Banteng dan Padang Rumput Sadengan sudah saatnya muncul untuk menyelamatkan aset bumi Blambangan.
Catatan. Sumber utama diambil dari tulisan berjudul: Invasive Plant Species and the Competitiveness of Wildlife Tourist Destination: A case of Sadengan Feeding Area at Alas Purwo National Park. Hakim, et al,. 2005. Journal of International Development and Cooperation. 12 (1): 35-45
0 komentar:
Posting Komentar